Pertama kali saya menginjakkan kaki
di SDN 1 Raja sebagai kepala sekolah yang baru dipromosikan, saya disambut oleh
kenyataan pahit, kekurangan guru. Ini bukan sekadar tantangan administratif.
Ini seperti dihadapkan pada kapal yang bocor di tengah badai, dan saya harus
menjadi nakhoda sekaligus tukang tambal. Karena tak ada pilihan lain, saya
turun tangan langsung mengajar kelas I. Dalam hati saya mencoba menenangkan
diri, “Ah, tak apa, saya kan dulu juga guru.”
Tapi semua keyakinan itu runtuh
saat saya bertemu Rudi.
Anak itu seperti badai kecil dalam
tubuh mungil. Ia tidak bisa duduk diam, selalu berdiri di atas bangkunya sambil
teriak-teriak, menirukan suara sirene, melempar penghapus ke udara, mengejutkan
temannya dengan teriakan hantu. Beberapa kali ia lari keliling kelas, memanjat
jendela, bahkan sembunyi di kolong meja saat saya sedang menjelaskan materi.
Dalam hati saya berpikir, “Mungkin dia cuma manja...” Tapi makin hari,
saya makin kewalahan. Energinya seperti tak ada habisnya.
Saya mencoba segalanya. Aturan
tertulis. Papan bintang. Hukuman berdiri. Sistem reward. Tapi seolah Rudi kebal
terhadap semua itu. Sampai pada satu hari yang membuat saya benar-benar
kehilangan kendali. Saat sedang menjelaskan cara membaca suku kata, dia kembali
membuat keributan. Saya panggil ke depan. Tapi yang terjadi membuat seluruh
kelas membisu dia menendang kaki saya, lalu dengan brutal membalikkan meja di
depan kelas. Buku-buku berhamburan, suara logam menabrak lantai menggema, dan
mata anak-anak membelalak.
Saya tak hanya kaget. Saya takut.
Ada luka dalam tendangan itu, bukan di kaki, tapi di hati. Saya sadar, ini
bukan soal kenakalan biasa. Ini tentang luka yang lebih dalam, yang belum saya
pahami.
Sejak hari itu, saya berhenti
menjadi “guru” bagi Rudi, dan mulai berusaha menjadi “manusia” yang lain
untuknya. Saya tidak lagi menanyainya soal pelajaran. Saya ajak dia bicara
tentang hal-hal sederhana, mainan favorit, warna kesukaan, makanan yang sering
dimasak ibunya yang ternyata tinggal sendiri sudah lama ditinggalkan ayahnya.
Saya mulai melihat, di balik matanya yang liar, ada jiwa yang kesepian,
terluka, dan haus perhatian.
Saya ingat betul saat dia menangis
karena uang jajannya hilang. Dia duduk diam di sudut kelas, wajahnya tertunduk,
bahunya berguncang pelan. Saat saya hampiri dan memberinya sedikit uang,
matanya terangkat perlahan, basah, penuh rasa tidak percaya. Ia mengucap,
“Terima kasih, Pak,” dengan suara yang hampir tak terdengar. Tapi saat itu,
dunia saya seperti terdiam. Saya melihat bukan anak nakal, tapi anak yang hanya
ingin merasa dicintai.
Waktu dia memukul temannya karena
rebutan pensil, saya hampir saja membentaknya. Tapi saya tarik napas, duduk di
sebelahnya, dan berkata, “Apa kamu pernah merasa seperti ini di rumah?” Ia tak
menjawab. Tapi air matanya menjawab lebih banyak dari seribu kata.
Saya akhirnya memanggil Bu Mia,
guru privat membaca, agar anak-anak kelas bawah yang kesulitan bisa mendapat
perhatian khusus. Termasuk Rudi. Ternyata, anak itu menunjukkan semangat luar
biasa. Ia datang paling pagi, kadang sebelum gerbang sekolah dibuka. Ia
menunggu di depan, membawa buku lusuh dengan sampul sobek yang dipeluk erat. Bu
Mia berkali-kali memuji semangatnya. Dan saya mulai percaya, perubahan itu
nyata.
Sampai suatu pagi, saat upacara
bendera, saya menyaksikan sesuatu yang mengubah hati saya selamanya. Ridwan,
salah satu siswa, lupa mengenakan topi. Aturan sekolah cukup tegas. Ia
dipanggil ke depan barisan untuk menerima sanksi. Saya melihat wajahnya pucat,
matanya berkaca-kaca. Tapi sebelum hukuman dijatuhkan, Rudi anak yang dulu suka
membuat kerusuhan berlari menerobos barisan. Nafasnya terengah. Ia masuk ke
kelas, lalu keluar membawa topi usang dari rak pojok.
Tanpa berkata banyak, ia serahkan
topi itu ke Ridwan. “Pakai ini aja. Biar nggak dihukum,” katanya lirih. Pak Danang
terdiam. Semua guru menahan napas. Saya pun demikian. Mata saya panas. Bukan
karena matahari pagi. Tapi karena momen itu sebuah bentuk keberanian dan kasih
sayang yang lahir dari hati seorang anak yang dulu dikenal sebagai pembuat
onar.
Dan perubahan itu tak berhenti di
situ.
Suatu sore, saat hujan turun deras
dan halaman sekolah sedikit becek, saya melihat Rudi duduk sendirian di teras.
Semua anak sudah pulang. Saya tanya, “Kenapa belum pulang?” Dia menunjuk Dini,
teman sekelasnya, yang duduk gemetar di pojok, menangis. “Dia takut sendirian.
Jemputannya belum datang. Aku tungguin aja, Pak. Nanti kalau ada orang jahat
gimana?” Katanya dengan polos.
Saya nyaris tak bisa berkata
apa-apa. Anak ini, yang dulu saya anggap ‘masalah’, kini menjadi penjaga kecil
bagi temannya. Sebuah cahaya kecil yang lahir dari pelukan, bukan omelan.
Sekarang Rudi sudah duduk di kelas
3. Dia jauh lebih tenang. Lebih senang membantu, dan anak-anak mulai
menyukainya. Suatu hari dia datang ke ruang saya, hanya untuk ngobrol. Saya
iseng bertanya, “Dulu kenapa kamu suka nakal?” Dia menjawab pelan, “Soalnya di
rumah nggak ada yang sayang.”
Saya tersenyum, tapi dada saya
sesak. Saya belajar satu hal penting, anak-anak bukanlah angka-angka dalam
laporan atau barisan yang harus dirapikan. Mereka adalah jiwa-jiwa kecil yang
membawa cerita, luka, dan harapan.
Dan Rudi mengajarkan saya sesuatu
yang tak pernah saya pelajari dari buku bahwa kadang, yang paling dibutuhkan
anak bukanlah pelajaran, tapi pelukan. Bukan hukuman, tapi pengertian. Bukan
sekadar aturan, tapi kehadiran yang sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar